Tuesday 8 February 2011

Deep South Watch(DSW): Media Pemantau Konflik di Thailand Selatan


 

by Patani Fakta Dan Opini on Friday, 04 February 2011 at 01:08
 
 
Telah di Edit Oleh Patani Fakta dan Opini

Jika ada yang bertanya dimana Patani, di sinilah Patani,” ungkap Muhamad Ayub sambil menunjukkan janggutnya yang sudah memutih.  Meskipun sedang berkelarkar, Muhamad Ayub dari Patani, Thailand selatan, merefleksikan kebingungan identity yang  sedang dialami oleh masyarakat Patani secara umum.  Janggut merupakan salah satu simbol dari identity muslim bagi laki-laki.

Di satu sisi, janggut, jilbab, telah menjadi simbol  Islam, tetapi juga identik dengan citra kekerasan yang telah di-construction melalui peristiwa-peristiwa terkait terorisme. Identity inilah  yang sedang diperjuangkan, tetapi juga sudah telanjur memperoleh stigma negatif di tengah masyarakat dunia.

Perkenalan saya dengan Muhamad Ayub, juga kedua temannya, Soraya Jamjuree dan Dr. Srisoombop terjadi saat menghadiri seminar “Conflict and Peace Building in Southeast Asia – initiatives by Citizen Media,” di Tokyo pada awal september lalu. Ketika bertemu di airport Narita, saya pun sedikit terkejut karena yang saya temui adalah wajah Thailand berkulit sawo matang seperti orang Indonesia. Saya pun “termakan” citra wajah Thailand yang berkulit putih dan mata sipit. Catatan ini ingin mengingatkan kita bahwa ada sekelompok community muslim Patani  di Asia Tenggara yang mengalami penindasan, baik di sisi budaya hingga fisik. Hal ini mungkin tidak terbayangkan bagi kita yang hidup di negara yang majority populasinya adalah muslim.

Deep South Watch & Perdamaian di Thailand Selatan

Dr.Srisompbop  memaparkan sejarah panjang Patani yang seribu tahun silam telah menjadi pusat agama Islam di Asia

 Tenggara serta memiliki kerajaannya sendiri. Konflik antara masyarakat Patani dengan Kerajaan Siam dimulai sejak kerajaan Patani ditundukkan pada tahun 1786 dan akhirnya pada tahun 1909 dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Pemerintahan Thailand melalui Traktat Anglo Siam yang melibatkan Inggris.

Etnis, agama, maupun kultur di Thailand selatan memang berbeda dengan majority penduduk Thailand. Persoalan bukan pada perbedaan itu sendiri, tetapi terjadi saat hak masyarakat Patani untuk mengekspresikan identitynya dibatasi oleh sistem yang diberlakukan oleh pemerintahan Thailand. Sebagai contoh pemimpin local yang dalam konteks ini adalah kesultanan telah diganti dengan sistem governor yang ditunjuk langsung dari pemerintah pusat di Bangkok. Syariat Islam dan hukum adat  juga tidak diakomodir dalam sistem hukum formal. Pengajaran bahasa melayu hanya diperbolehkan di sekolah-sekolah agama seperti Pondok. Sementara di sekolah resmi milik pemerintah, tidak ada pelajaran bahasa Melayu dan warga Patani harus belajar bahasa Thailand sebagai bahasa resmi negara. Hal ini menyebabkan semakin banyak masyarakat Patani yang tidak mengenal bahasa melayu sebagai bahasa ibu.

Kondisi inilah yang menimbulkan ketidakpuasan bagi masyarakat Patani yang akhirnya memunculkan kelompok-kelompok perlawanan, seperti dua kelompok Pejuang Pembebasan Melayu Patani yang paling kuat adalah BRN. Dengan semakin menguatnya perlawanan dari para gerilyawan, maka pemerintah Thailand pun melakukan pendekatan militer dengan mengirimkan pasukan ke Thailand Selatan. Ada 60,000 pasukan yang disebar ke wilayah Pattani, Yala, dan Narathiwat. Tahun 2004 merupakan peristiwa yang tak bisa dilupakan masyarakat Patani ketika terjadi tindak kekerasan yang telah menewaskan 107 orang dan insiden penembakan saat warga sedang sembahyang di Mesjid. Masyarakat Patani yang sangat menjunjung tinggi Islam dan menjadikannya sebagai identitynya sangat terluka. Sejak itu pula aksi kekerasan semakin tinggi, dan mengakibatkan sekitar 4.302 orang tewas sampai tahun ini.

Selama ini kondisi  Thailand  Selatan telah di-construction sebagai persoalan melawan teroris sehingga tidak terbangun empati dari masyarakat dunia. Disinilah peran media alternatif seperti Deep South Watch (DSW) sangat penting untuk memberikan informasi yang detil dan akurat mengenai apa yang terjadi di Patani.

Deep South Watch (DSW) berdiri pada bulan september 2006. DSW, yang awalnya disebut Intellectual Deep South Watch (IDSW), merupakan jaringan koordinasi dari berbagai lembaga dan akademisi. Tujuannya untuk menganalisis kekerasan di Thailand Selatan  melalui data dan analysis  yang rasional dan jernih. DSW memang lebih berperan di tingkat kelas menengah, tetapi belum terlalu menyentuh masyarakat akar rumput. Namun DSW telah memulainya dengan bekerjasama dengan Friend of the Victimized Families Group yang dikelola oleh Soraya Jamjuree. Friend of the Victimized Families Group merupakan program action-research terhadap keluarga yang menderita akibat kekerasan militer. Sebelumnya pemerintah tidak memperhatikan nasib mereka, serta membangun stigma bahwa mereka adalah bagian dari pemberontak. Namun melalui Friend of the Victimized Families Group, Soraya bersama teman-temannya berupaya melakukan advocacy hak-hak mereka sebagai warganegara Thailand.  Selain melakukan kegiatan advocacyi, program ini juga melibatkan perempuan korban kekerasan dalam penelitian dan produksi program radio. Mereka membuat talkshow, drama radio, serta wawancara dengan korban kekerasan lainnya. Audio ini disiarkan oleh 15 radio komunitas yang ada di kawasan Patani. Mereka juga menyiarkan program audio  ini melalui website DSW.

Banyak orang berpikir bahwa dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta jiwa, dibanding dengan seluruh rakyat thailand yang mencapai 60 juta jiwa, maka ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Patani bukan masalah internasional. Bagi kawasan Asia Tenggara, persoalan ini seharusnya tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena dapat mempengaruhi kestabilan kawasan. Menurut Muhamad Ayub, cukup banyak gerilyawan Patani yang berelasi dengan orang Indonesia.

Hal ini tentunya bisa mempengaruhi hubungan Thailand dan Indonesia. Oleh karena itu, media di kawasan Asia Tenggara mempunyai kepentingan besar terhadap isu Thailand Selatan yang bertujuan membangun perdamaian. Sementara di level nasional, media arus utama dan media community di Thailand  bisa bersinergi untuk meng-advocacy pelanggaran HAM serta mempengaruhi kebijakan pemerintah Thailand. Di level  community, untuk menjaga agar pertikaian ini tidak berlarut-larut menjadi pertikaian antar community, maka media community seperti radio bisa berperan untuk membangun dialog yang damai antara masyarakat Pattani dan Thai. Dalam konteks inilah seluruh jenis media bisa digunakan secara strategis untuk membangun perdamaian serta solusi yang baik untuk Thailand Selatan.

Untuk Dapat Informasi Soal Selatan Thailand Melalui Deep South Watch (DSW) Klik: http://www.deepsouthwatch.org/english

Sunber ini dari: http://adetanesia.wordpress.com/
· · Share

No comments:

Post a Comment