Tuesday 8 February 2011

Nasib Melayu Muslim di Selatan Siam


by Patani Fakta Dan Opini on Friday, 26 November 2010 at 00:47
 
 
 Thailand selatan memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang unik, berbeda dengan bagian Thailand lainnya. Sebelum abad 15, Province Pattani, Yala, Narathiwat, dan Satun berada di bawah naungan Kesultanan Patani yang diperebutkan oleh Kerajaan Siam di utara dan Kesultanan Malaka di selatan. Walau secara budaya dekat dengan Malaka, namun secara politik Patani di bawah pengaruh Siam.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511, membuat Patani harus menyerahkan bunga emas kepada Siam agar wilayahnya tidak diganggu. Namun simbol penyerahan upeti ini dianggap Siam sebagai penyerahan kedaulatan. Lemahnya Siam, terlebih setelah diserbu oleh pasukan Burma membuat Patani kemudian tak lagi menyerahkan upeti.

Tahun 1902 Patani bersama Kedah, Perlis, Kelantan, dan Trengganu resmi di bawah kekuasaan Siam. Perjanjian Siam-Inggris tahun 1909, memaksa Siam menyerahkan semua daerah di atas kepada Inggris kecuali Patani. Tahun 1933 Siam membagi Patani menjadi tiga province, Narathiwat, Pattani dan Yala.

Hingga saat ini, 80 persen (sekitar 2,6 juta) penduduk ketiga province ini menganut agama Islam, berbudaya dan berpakaian melayu, dan menggunakan bahasa melayu Jawi sebagai bahasa ibu. Hanya sedikit yang bisa menulis dan membaca dalam bahasa Thailand, walau mereka memahami bahasa Thailand. Sementara bureaucrat yang memegang pemerintahan di sana adalah orang Budha-Thailand yang tak memahami bahasa Jawi.

Perbedaan budaya dan kurangnya pemahaman pemerintah pusat pada daerah ini membuat ketiga province islam ini semakin ter-isolation. Apalagi pemerintah Thailand menerapkan banyak diskriminasi, mulai dari pembangunan wilayah, pendidikan, hukum hingga politik.

Untuk menghilangkan identity minority ini, pemerintah pusat memaksakan asimilasi budaya lewat sekolah pemerintah sejak tahun 1939. Di sekolah ini diajarkan bahasa Thailand dan agama budha, tanpa memperhatikan budaya setempat. Hal ini mendapat perlawanan diam-diam dari masyarakat muslim setempat dengan mendirikan sekolah tandingan seperti pondok pesantren. Di kemudian hari lulusan pondok pesantren ini banyak yang dikirim belajar ke luar negeri, seperti Arab Saudi, Universitas Al-Azhar di Mesir, Iran, belakangan bahkan Indonesia.

Awalnya para pemimpin Islam yang tidak puas mencoba menyalurkan aspirasi mereka lewat parlemen. Namun pemerintah pusat melakukan diskriminasi dengan amat membatasi jumlah politician muslim di pemerintahan. Banyak di antara mereka yang dibuang, diasingkan, atau dibunuh. Banyak lagi yang tak terdengar namanya. Hal ini menyurutkan niat politician muslim untuk menentang pemerintahan lewat undang-undang, dan memilih cara kekerasan untuk melampiaskan protes mereka.

Media massa turut berperan dalam membentuk gambaran yang buruk terhadap masyarakat Thailand selatan. Selama ini media di Bangkok frequently menggambarkan Thailand selatan sebagai tempat yang menakutkan, sarang para bandit, perompak, teroris. Orang-orang selatan digambarkan berwatak kasar dan gampang marah. Gambaran yang salah ini membuat pejabat pemerintah yang dikirim untuk memerintah di selatan menjadi tidak enthusiastic dan antipathy terhadap masyarakat yang mereka pimpin. Akibatnya semakin memicu kebencian antara masyarakat setempat terhadap pemerintah.

Pemberontakan yang dilakukan gerilyawan muslim pada awalnya adalah installation polis dan militer, sekolah, dan simbol pemerintahan. Karena sulit mengetahui dalang pemberontak, pemerintah kemudian asal tangkap. Mereka menangkapi orang-orang yang tak bersalah, menyiksa, lalu membunuh mereka.

Pembunuhan Terhadap Melayu Muslim di Selatan Thai Masih Berterusan.

Berdasarkan laporan Asian Human Rights Commission di bulan Oktober 2006, Penduduk masyarakat Melayu setempat yang ditangkap militer disiksa dengan sangat kejam. Alat kelamin mereka dibakar dengan rokok, lutut dihantam botol bir, dan mereka dibiarkan lari dikejar anjing. Serupa dengan penyiksaan tawanan iran oleh militer AS di Guan Tanamo. Hal ini bukannya memadamkan serangan gerilyawan, justru membuat mereka semakin beringas dengan meluaskan sasaran serangan yang dianggap bekerjasama dengan pemerintah.

Zachary Abuza, seorang analis terorisme yang tinggal di AS menyatakan terjadinya peningkatan serangan gerilyawan muslim, baik secara quality maupun jumlah. Di tahun 2004 misalnya, gerilyawan hanya melemparkan bom kurang dari 2 kg, tahun 2006 berat bom menjadi 4-5 kg, dan tahun 2007 mencapai 15 kg.

Menurut Abuza, guru dan sekolah dianggap sebagai agent secularism dan asimilasi islam ke budaya budha Thailand. Serangan gerilyawan juga ditujukan untuk membersihkan daerah selatan dari etnis china dan pemeluk budha. Setidaknya 15 persen dari kedua golongan di atas telah keluar dari Thailand selatan tahun ini.

Selama ini pemerintah Thailand cenderung meredam gerilyawan muslim ini demi melindungi industri pariwisata mereka. Namun peredaman dengan me-repression pejuang pembebasan Melayu Patani lewat aksi militer terbukti tak efektif. Cara negotiation lalu dipilih pemerintahan Chulanont. Terjadi perombakan dalam tubuh militer. Misalnya diangkatnya Jendral Sonthi Boonyaratglin yang muslim menjadi kepala angkatan bersenjata. Juga terjadi recruitment wanita muslim dalam polis dan militer untuk ditugaskan di garis depan, agar bisa ber-negotiation dengan penduduk setempat. Namun hal ini belum memberikan hasil yang commensurate.

Pemerintah agaknya reluctant menengok ke belakang, memahami tuntutan para pejuang sebelumnya. Ada tuntutan dasar yang sejak dulu diminta oleh warga masyarakat di selatan, diantaranya: kebebasan untuk menganut agama Islam dan berbudaya melayu tanpa harus menjalani asimilasi budaya oleh pemerintah, hak untuk menggunakan bahasa Jawi sebagai bahasa resmi daerah itu, bukan sekedar bahasa ibu.

Komisi Rekonsiliasi Nasional (NRC-National Reconciliation Commission) yang mediate pertikaian gerilyawan dan pemerintah pernah mengajukan saran yang isinya menerapkan hukum syariat Islam di Selatan Thailand, menjadikan bahasa Jawi sebagai bahasa kerja, dan menugaskan pasukan penjaga perdamaian tanpa senjata. Namun ketiga usul ini ditolak mentah-mentah karena dianggap menodai kedaulatan raja dan negara.

Kini para gerilyawan nampaknya reluctant ber-negotiation. Mereka menuntut tegas kemerdekaan bekas wilayah Kesultanan Patani. Pemerintah pun enggan menawarkan otonomi terbatas semacam kasus Aceh di Indonesia. Maka bisa dipastikan korban penduduk sipil akan terus berjatuhan.

Membaca sejarah PATANI dan mendengarkan pengakuan patah-patah Al Sayid, aku jadi bersyukur. Alangkah indahnya hidup beragama di Indonesia. Penuh tolerance. Tak ada agama minority yang dipaksa masuk majority. Semua boleh hidup dan berkembang. Andai ada conflict antar agama, biasanya pemicunya hal lain.

Senja mulai menjelang saat kuberanjak meninggalkan kompleks Masjid Ampel. Kulihat Al Sayid masih terpekur di sana. Mungkin memikirkan keluarganya di Pattani. Mungkin juga menikmati ibadahnya tanpa rasa was-was. "I can't stand to see people die everyday. I just want peace," lembut dia berkesah. Kesah yang kuharap tak hilang sia-sia dihembus angin sore.

Sebuah Blog  Dari: Aku Orang Indonesia di Malaysia, Asal judul: Pengungsi dari Siam Selatan (2), yang terbit pada hari Monday, 1 November 2010, http://ary-amhir.blogspot.com/, telah di edit oleh Patani Fakta dan Opini
· · Share

'Di Hilangkan' Tok Guru Haji Sulong Vs Tokoh HAM Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar) Dengan Misteri (Sambungan Terakhir)


by Patani Fakta Dan Opini on Sunday, 07 November 2010 at 00:27
 
 
Where Is Somchai???
Siapa Dalang Pembunuhannya???
Demikian kehilangan Somchai baru-baru ini, kasus kehilangan Somchai sebagai tokoh HAM pembela  Muslim. Mereka
 sebagai seorang pengacara Muslim yang banyak menangani case hak asasi manusia dan dinyatakan hilang, ternyata dibunuh oleh pejabat negara. Special teams pemerintah sedang menyidik case itu. Kelompok HAM menduga pengacara 52 tahun itu diculik dan dibunuh oleh pejabat polis. Sebab, Somcahi kerap protes atas penanganan masyarakat Muslim di selatan Thailand. Dia juga pernah menuduh polis menyiksa empat client nya yang dituduh anggota Jemaah Islamiyah selama di tahanan.

Somchai menghilang saat menjadi pengacara bagi 5 warga muslim di Thailand Selatan. Somchai mengajukan complain karena client nya mendapat penyiksaan selama dalam tahanan. Sebelum menghilang, Somchai mengaku kepada istrinya bahwa nyawanya dalam bahaya. Ada beberapa petugas yang terus membuntuti dirinya. Seorang saksi dalam persidangan mengaku melihat Somchai dipaksa masuk ke mobil di jalanan Kota Bangkok pada suatu malam.

Raibnya Somchai Neelaphaijit dan pengadilannya kemudian mengundang attention terhadap perlakuan Thailand terhadap hak asasi manusia. Barisan activist HAM bersikukuh menyatakan pengacara berusia 52 tahun itu diculik dan dibunuh, karena kecaman lantangnya terhadap cara apparatus keamanan menangani pergolakan di selatan.

Hasil diintervensi oleh KontraS (Comisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dapat menjelaskan bahwa:

Tokoh HAM Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar)
Pada 12 March 2004, Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar), seorang pembela kelompok tertindas Muslim di Thailand. Sejak itu, keberadaannya tidak jelas lagi. Kemungkinan besar ia sudah mati, disiksa dan dihilangkan secara paksa.
Uniknya juga case diselesaikan dengan mengelar pengadilan setengah hati. Di Thailand, pengadilan mem-verdict Major Polis Ngern Tongsuk tiga tahun penjara sementara membebaskan 4 terdakwa lainnya. Pengadilan kasus ini juga gagal mengungkapkan kebenaran atas motif politik yang sebenarnya. Sementara Major Polis Ngern Tongsuk dihukum karena menghilangkan barang bukti dan menghalangi hukum (obstruction of law).

Pasca persidangan authority politik PM Thaksin Shinawatra mengaku kecewa dan terus bercommitment akan mencari dalang pelaku utamanya. Case ini juga ditangani oleh Department of Special Investigation yang tidak berada di bawah control Police Thailand. Meski mechanism spesial tersebut telah menemukan berbagai bukti, keterangan, dan informasi yang penting, namun investigation lanjutan tidak terlihat berjalan. Pernyataan pimpinan politik di negara Thai nampak hanya sebagai lip service dan gagal memberikan kebenaran yang authentic bagi keluarga korban dan public luas.

Kegagalan penanganan kasus ‘individual’ ini juga menandakan memudarnya sistem aturan hukum (rule of law) di dalam Negara Thailand. Tetapi juga kepada community Muslim di Thailan Selatan yang selama ini susceptible terhadap pelanggaran HAM. Kegagalan kasus Somchai justru akan semakin menghambat upaya damai dan reconciliation di wiliyah selatan Thailand yang dibeberapa tahun belakangan ini menjadi wilayah conflict yang intensive.[1]

Pada tahun 1998, PBB meng- adoption Declaration Pembela HAM. Dokumen ini mengakui bahwa problem-problem utama di dunia akan berakhir -khususnya di negeri-negeri dengan regime yang repressive yang kurang peduli terhadap aturan main dalam hukum- adalah kebutuhan untuk menyediakan perlindungan bagi orang-orang yang berjuang untuk HAM.

Pembela HAM di seluruh kawasan Asia saat ini mendapatkan resiko atas kehidupannya. Keputusan untuk membunuh pembela HAM dan perilaku pembunuhan dilakukan secara rahasia. Hukum, pengadilan dan organisasi sipil tidak dapat menghentikan pembunuhnya. Di banyak kasus, apparatus negara dan lembaga negara terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Pembunuhan terhadap setiap pembela HAM adalah upaya untuk membunuh gerakan HAM. Ini juga merupakan serangan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk menciptakan dan mempertinggi ketakutan. Dimana ketakutan hadir, ada banyak lebih kesempatan untuk pembunuhan selanjutnya, dan kesempatan yang lebih sedikit untuk memulihkannya. Ini merupakan method yang bertujuan untuk membisukan tidak hanya satu orang tetapi membisukan setiap orang.

Saat ini ketakutan yang intensive muncul di banyak negara bagian di Asia, dengan kasus “dihilangkan”, rakyat-rakyat muslim di Thailand Selatan telah banyak menjadi korban tertuduh kekerasan sebagai “Kambing Hitam”. Ini diciptakan oleh sejarah repression, dan serangkaian pembunuhan. Intimidation dan kekejaman adalah makanan sehari-hari dari kehidupan rakyat. Pembela HAM dan rakyat muslim Selatan Thai terus berhadapan dan mengatasi ketakutan, Intimidation dan kekejaman ini.

Angkhana Neelaphaijit
Angkhana Neelaphaijit, Isteri Somchai.
Angkhana Neelaphaijit adalah istri dari pengacara HAM Thailand, Somchai Neelaphaijit yang diculik oleh polis pada 12 March 2004. Pada saat itu, Somchai sedang membela klien-kliennya yang menuduh polis yang melakukan penyiksaan. Mayatnya tidak pernah ditemukan. Angkhana telah menjadi garis terdepan dari campaign untuk mendapatkan keadilan atas hilangnya Somchai. Pada Januari 2006, seorang petugas polis di-verdict 3 tahun penjara, namun dalang dan keseluruhan kejahatan tidak pernah di-identification. Ia telah mendapat ancaman mati karena ia melanjutkan kerjanya. Ia menemui pejabat PBB baik di Thailand maupun di luar negeri untuk mengejar case ini.

Pada hari perempuan internasional di tahun 2006, ia mendapat penghargaan dari Commission Thailand sebagai “seorang pembela HAM perempuan luar biasa”. Pada 11 Maret 2006, ia mendapat The 2nd Asian Human Rights Defender Award dari AHRC atas nama suaminya, yang juga mendapat pengakuan atas kerja Anghkhana sejak hilangnya suaminya 2 tahun lalu. Anghkhana saat ini menjadi inspiration dari sekian banyak orang-orang di Thailand, sebagaimana juga di tingkat internasional. Dalam melakukan kerjanya ia didukung oleh lima anaknya.  

Pada 30 Maret 2006 juga AHRC telah me-nomination-kan seorang istri pembela HAM yang luar biasa untuk menerima penghargaan ternama, Gwangju Prize for Human Rights tahun 2006, diberikan oleh May 18 Memorial Foundation, Korea.
Demikian kehilangan Somchai, Hakim Elizabeth Evatt, anggota International Commission of Jurists yang bermarkas di Jenewa, Swiis. Ia berharap case ini bisa segera dituntaskan. Sebelumnya, banyak kalangan yang khawatir case ini akan semakin memperparah aksi kekerasan di Thailand Selatan.


Bisa lihat maklumat lanjut mengenai Somchai di,
 http://campaigns.ahrchk.net/somchai/

[1] Sarawut Pratooras, Usman Hamid,  Suciwati, Rusdi, Marpaung, Mugiyanto, “Peringatan Dua Tahun Kasus Somchai Neelaphaijit, Negara Belum Menghargai Human Rights Defender”,  www.kontras.com, http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=310
· · Share

Serangan Bom Sambut 6 Tahun Peringatan Pembantaian Tak Bai di Thailand


by Patani Fakta Dan Opini on Saturday, 30 October 2010 at 00:20
 
 
Satu orang telah tewas dan 18 luka-luka dalam serangkaian serangan bom di tiga provinsi selatan yang bergolak Senin (25/10), bersamaan dengan ulang tahun keenam insiden Tak Bai. Antara Narathiwat Thailand dan Kelantan Malaysia.

Narathiwat adalah provinsi paling keras dihantam dengan serangan bom dan pembakaran yang pemerintah Thailand tuduh dilakukan oleh kelompok pejuang Islam. Setidaknya 12 lokasi di delapan kabupaten Narathiwat di hantam bom sejak pukul 03:30-10:00 pagi. Serangan itu terjadi di Rangae, Rueso, Yi-ngo, Sukhirin, Si Sakhon, Narathiwat Muang, Sungai Padi dan Cho Airong.

Kolonel Banpot Poolpian, juru bicara Komando Operasi Keamanan Internal Wilayah 4 mengatakan serangan terkoordinasi itu dimaksudkan sebagai pengingat dari insiden pembantaian Tak Bai, Narathiwat, pada 25 Oktober 2004, di mana 85 Muslim-Melayu meninggal (versi pemerintah-red), sebagian besar dari mereka gugur saat dalam tahanan tentara.

Sebagian besar serangan mematikan pada hari Senin (25/10) melibatkan penggunaan bom jebakan (booby trap) dan mengambil tempat di perkebunan karet yang dimiliki orang-orang Buddha Thailand.

Bom-bom gaya ranjau darat terkubur di bawah pohon karet dan menargetkan para penyadap karet yang mulai bekerja pada jam-jam sebelum fajar.

..serangan terkoordinasi itu dimaksudkan sebagai pengingat dari insiden pembantaian Tak Bai, Narathiwat, pada 25 Oktober 2004, di mana 85 Muslim- (Bahasa Melayu Logat Thailand “Ma Cag Indonesia Khun Dio”) Melayu meninggal (versi pemerintah-red), sebagian besar dari mereka gugur saat dalam tahanan tentara..

Satu orang tewas di Narathiwat dan 15 lainnya luka-luka, tiga di antaranya petugas keamanan.

Kebanyakan dari mereka mengalami luka kaki serius, sementara beberapa kehilangan kaki mereka akibat dampak ledakan.

Pihak keamanan dan petugas medis yang pergi untuk membantu mereka yang terluka atau memeriksa berbagai lokasi bom berada dalam keadaan siaga tinggi mengantisipasi adanya penyergapan yang dilakukan oleh kelompok pejuang Islam setelah tiga petugas keamanan cedera oleh bom ketika memeriksa tempat ledakan di Rueso.

Yayasan Keadilan untuk Perdamaian kemarin merilis pernyataan untuk menandai ulang tahun keenam insiden Tak Bai. Dalam pernyataan tersebut, yayasan mengutuk sistem peradilan Thailand karena tidak tulus untuk mengakhiri konflik di wilayah Selatan.

Dikatakan masalah itu tidak bisa diselesaikan sampai otoritas menawarkan keadilan sejati kepada orang-orang Muslim di selatan, terutama para keluarga korban yang yang tewas dalam insiden Tak Bai.

Tidak seorangpun dari pejabat Thailand yang bertanggung jawab atas insiden tersebut dihukum, kata yayasan tersebut.

Sumber dari:
imbalo.wordpress.com
· · Share

'Di Hilangkan' Tok Guru Haji Sulong Vs Tokoh HAM Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar) Dengan Misteri


by Patani Fakta Dan Opini on Friday, 29 October 2010 at 03:47
 
 
Haji Sulong

@ Haji Sulong Vs Somchai
Siapa Dalang Pembunuhannya???
Haji Sulong bin Haji Abdul Kadir bin Muhammad bin Haji Zainul Abidin bin Ahmad @ Muhammad al-Fathoni, ketika itu Haji Sulong mengabdi sebagai Ketua Majlis Agama Islam pada tahun 1945. Ia sangat dihormati oleh masyarakat-masyarakat Melayu Muslim di Selatan.

Menurut Muhammad Kamal terhadap Haji Sulong bahwa:

Haji Suloang, adalah salah satu tokoh ulama Patani yang ditakdirkan memimpin masyarakatnya untuk menghadapi politik siamisasi yang dilancarkan oleh pemerintahan Thailand. Karena setelah beliau tinggal di Patani, beliau berusaha menbangkit kesatuan dan persatuan semagat umat Islam Patani. “Haji Sulong tidak saja terkenal dengan kitab-kitab karya dan aktivis dakwahnya, tetapi juga terlibatan dalam memperjuangkan demi memperbaiki nasib masyarakat muslim Patani pada tahun-tahun pra dan pasca perang dunia kedua” (Muhammad Kamal K.Zaman, 1996, 6).

Haji Sulong benar-benar seorang aktivis politik dalam kedudukannya sebagai pemimpin moral yang diakui oleh Melayu Muslim. Mereka menjadi popular di kalangan para pelajar dan jemaah haji di Asia Tenggara di Mekkah, dan melalui mereka prestige dan pengaruhnya bertambah besar. Ia kembali ke Patani pada tahun 1930, dan memulai karir sebagai pengajar yang menarik murid-murid dari seluruh pelosok Dunia Melayu.

Surin Pitsuwan dapat menjelaskan tentang latar belakang pendidikan Haji Sulong ketika berada di Makkah bahwa:

Seperti kebanyakan ulama Asia Tenggara, Haji Sulong mula-mula masuk sebuah sekolah menegah Indonesia yang terkenal, yang didirikan bagi pelajar-pelajar yang berbahasa Melayu di dekat Ka’bah, di Masjid Haram, yang diberi nama Dar al-Ulum. Di sini diberikan pelajaran mengenai ilmu-limu tradisional seperti : Tafsir Al-Quran, Hadits, asas-asas ilmu hukum, dan tata bahasa Arab. Haji Sulong bergabung dengan lingkaran-lingkaran scholastic yang berbahasa Melayu di Masjid Haram, dimana dia menjadi seorang rector yunior mengenai hukum Islam mazhab Syafi’e. Pada tahun 1927, ia berkenalan dengan gagasan-gagasan pembaharu dari Jamaluddin al-Afghani dan Muhhammad Abduh selama tiga tahun belajar di Makkah, ketika ia mendapat kesemapatan untuk bergaul dari beberapa ulama dari Mesir. Dari pengalamannya di Makkah dan pergaulannya dengan ulama-ulama lain yang berbahasa Melayu yang juga mulai menyadari potensi dan kemungkinan Islam sebagai sesuatu kekuatan politik, Haji Sulong menupuk suatu keyakinan yang semakin kuat terhadap keterlibatan politik dan aktivis social (Surin Pitsuwan, 1989,114).

Haji Sulong
Pada 1 April 1947, diadakan pertemuan di antara pemimpin-pemimpin masyarakat Islam wilayah selatan di Patani. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan untuk menyerahkan sebuah memorandum – yang mengandung beberapa tuntutan dari masyarakat Islam di selatan – kepada wakil-wakil kerajaan Thai sewaktu mereka melakukan kunjungan ke Patani. Pada tanggal 24 Agustus 1947, Haji Sulong (Ketua Majlis Agama Islam Patani) dan Wan Uthman Wan Ahmad (selaku Pengurus Persekutuan Semangat Patani) secara resmi menyerahkan memorandum tersebut kepada 7 orang utusan pemerintah yang berkunjung ke Patani. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada tanggal 3 April 1947, Haji Sulong mengirimkan secara langsung memorandum tersebut kepada Perdana Mentri.

Hasil kesepakatan Memorandum ini berisi rencana tujuh yang dikenal dengan tututan “Tujuh Pasal” dari gagasan politik Haji Sulong dalam upaya mempertahankan kemandirian dan kemurnian Islam di Patani. Tujuh tuntutan ini yang nantinya dikenal dengan nama "Tujuh Tuntutan Haji Sulong".

Menurut Kandidat Doktor Sejarah University of Hawaii at Manoa, Amerika, Sejarawan dari Barat Muhamad Ali (Media Indonesia. 02 November 2004, OPINI), bahwa Haji Sulong menuntut atas pemerintahan Bangkok dengan terdapat beberapa hal yang meliputi:
  1. Wilayah selatan harus dipimpin orang local;
  2. 80% pegawai pemerintah harus orang Melayu;
  3. Melayu juga harus menjadi bahasa resmi, selain bahasa Thailand;
  4. Bahasa Melayu harus menjadi medium pendidikan di sekolah-sekolah,
  5. Hukum Islam harus diakui selain hukum sipil;
  6. Segala pemasukan local harus digunakan untuk kepentingan local; dan
  7. Pembentukan sebuah Dewan Muslim.
Dengan terdapat beberapa alasan pada Haji Sulong bahwa sebagian orang Melayu keberatan karena bahasa Thailand bukan bahasa ibu mereka; jika mereka belajar agama Buddha maka pelajaran agama Islam akan terbengkalai. Dengan alasan modernization pendidikan, pemerintah Thailand waktu itu tidak menanggapi aspirasi ini.

Tuntutan tersebut tidak mengusulkan pembentukan sebuah negara merdeka, tapi hanya sebuah entity territorial dan kebudayaan yang untuk mempertahankan identity yang khas. Menurut Haji Sulong, masalah-masalah yang serius itu disebabkan oleh ketiadaan kepercayaan dan saling pengertian antara yang berkuasa dan yang diperintah. Rakyat Melayu tidak punya rasa kebersamaan (sense of belonging) yang diperlukan untuk memberikan kapada pemerintah Bangkok legitimacy atas kekuasaan mereka. Tuntutan mereka wajar mengigat kenyataan bahwa tuntutan itu didasarkan atas penderitaan-penderitaan yang nyata yang tidak dapat dikurangi dibawah struktur kekuasaan yang ada.

Haji Sulong tidak menginginkan pembentukan sebuah negara merdeka, hanya agar sebuah wilayah selatan dapat mempertahankan identitas serta sifat-sifat khasnya. Keinginan ini seolah menjadi syarat minimal yang harus terpenuhi karena golongan Melayu-Islam akan tetap mengupayakan kelangsungan cara hidup tradisionalnya serta menjaga kemurnian agama Islam yang mereka anut.

Semula, ada optimism dalam benak Haji Sulong mengenai tuntutan-tuntutan ini agar dapat dipertimbangkan oleh Bangkok, meski tidak seluruhnya. Perdana Menteri Pridi yang diketahui terpengaruh dengan bentuk federalism Switzerland, diyakini bersedia memberikan otonomi kebudayaan bagi etnik Melayu dalam lingkungan bangsa Thai. "Pridi lah yang oleh Haji Sulong sebagai pemimpin de factor kepada community Muslim, begitu diharapkan untuk memberikan dokongan politik kepada perjuangan untuk memperoleh otonomi politik".

Sayangnya harapan-harapan ini segera buyar dan gone ketika Phibul kembali berkuasa pada tanggal 8 November 1947, tidak lama setelah memorandum diserahkan. Meski Pridi telah pergi, Haji Sulong yang sudah terlibat dalam perpolitikan, tidak dapat menghentikan langkahnya demi memperjuangkan otonomi politik yang sudah berjalan. Belakangan, setelah peristiwa ini, beliau banyak terlibat dengan YM Tengku Mahmud Muhyiddin, putera Raja Patani yang terakhir, di Kelantan, dan ini juga yang menjadi sebab bagi penangkapan kali pertama Haji Sulong pada hari Jum'at tanggal 16 Januari 1948.

Setelah Phibul** berkuasa, dalam hal hubungan Memorandum berisi rencana tujuh perkara ini, pemerintah juga tidak bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan itu, dengan pertimbangan bahwa tuntutan-tuntutan itu terlalu melanggar kekuasaan pusat dan dari sisi ekonomi terlalu mahal.

Haji Sulong dibebaskan empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1952. Selama dalam tahanan di Ligor, beliau menulis sebuah karya yang berjudul “Gugusan Chahaya Keselamatan” yang kemudian diterbitkan oleh anaknya, Haji Mohd Amin pada tahun 1958, tetapi apa dayanya pemerintah segera dilarang – penerbitan dan peredaran buku tersebut – oleh kerajaan Thai. Haji Sulong dalam bukunya “Gugusan Cahaya Keselamatan” menjelas bahwa, rakyat ketika itu di tindas dengan kejam, sesuatu yang tidak di sukai pemerintah Siam dituduh melakukan pelanggaran undang kemudian ditahan, di hukum dan dibunuh. Tragedy bukan hanya menimpa atas beberapa orang saja namun ratusana jiwa di daerah Patani (Chalermkiat Khutongpej, 1995, 29). Setelah dibebaskan, Haji Sulong kembali ke Patani dan meneruskan pekerjaan awalnya yaitu menjadi "Tok Guru" dengan mengajar di pondok pesantren dan juga dari kalangan masyarakat (Ahmad Fathi Al-Fathoni, 1994, 92).

Setelah dua tahun dibebaskan, pada tanggal 13 Agus 1954, Haji Sulong ke Songgora di jemput dari Gebenur Songgora untuk di intograsi oleh pihak kepolisian atas nama-nama yang tercantum dalam surat perintah dari pihak kepolisian di Songgora itu, yaitu Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas, dan Ahmad To,mina bin Haji Sulong anak kandung Haji Sulong sendiri. Menurut surat perintah Gebenur Songgora, Ahmad To,mina tidak tercantum dalam daftar pihak kepolisian di Songgora, keikutsertaan ayahnya ke Songgora dalam upaya menterjemah bahasa Thai ke dalam bahsa Melayu dan bahasa Melayu ke dalam bahasa Thai, dengan karena Haji Sulong tidak bisa mengerti dan berbicara dalam bahasa Thai.

Setelah di intograsi oleh pihak kepolisian mereka berempat telah di izinkan untuk pulang ke kampung halaman mereka masing-maising setelah ditandatangani oleh Gebenur Songgora. Ternyata Haji Sulong, serta dua rakan dan Ahmad To,mina anaknya Haji Sulong menghilangkan secara misterius. Sedangkan kepulangan mereka semua di tunggu-tunggu oleh masyarakat setempat. Dalam dugaan mesyarakat setempat bahwa mereka semua telah dihilangkan jejak dengan kelicikan yang di mainkan oleh pihak kepolisian Songgora (Ahmad Fathi Al-Fathoni, 2001, 151). Ini merupakan suatu pengakuan kegagalan di pihak pemerintah (Pitsuwan,Surin, Op.Cit.127). Ada teori yang mendugakan bahwa keempat-empat mereka “ditahan” di luar undang-undang setelah mereka berempat sudah ditandatangani izin pulang ke Patani.
Dengan bukti yang megatakan mereka berempat “dihilangkan”, terdapat seorang nelayan Songgora yang berasal dari Panarek (nama derah di Wilayah Narathiwat), yang bernama Hasin, katanya:

"datang seorang aparat kepolisian meminta bantuan supaya membuang lima bungkusan karung yang berisisi mayat kedalam pantai yang berdekatan Pulau Tikus".

Menurut Hasin, mereka tidak mengetahui apa jenis bukusan karung yang tersisi di dalam kelima-lima karung tersebut. Mereka dapat mendegar gosib kehilangan Tok Guru (Haji Sulong) setelah tiba mendarat, Hasin segera langsung “mencium” yang berhubungan diantara peristiwa kehilangan Tok Guru yang berkaitan dengan karung yang telah mereka campakan pada malam hari tersebut di pantai Senggora yang berdekatan dengan pulau Tikus dan pulau Kucing (Samila Beach) pada malam Sabtu 13 Agus 1954 (Ismail Che’Daud, 1988, 355-357). Terdapat empat karung yang diyakinkan empat mayat rombongan Tok Guru dan satu isi karung disebutkan aktivis komunis yang berbangsa Cina.

Pada peristiwa ini, keluarga Haji Sulong mengundang Hasin dan memberi perlindungan untuk menjadikan sebagai saksi dalam kasus kematian Tok Guru yang akan mendakwa kepegadilan mahkamah. Akan tetapi, sebelum Hasin dan keluarganga Haji Sulong menutut kasus “dihilangkan” Tok Guru ke pengadilan, Hasin telah pun terbunuh oleh orang tanpa diketahui. Pembenuhan Hasin berlaku seketika mereka keluar dari rumah berlindung untuk pulang ke rumah mereka dalam upaya ketemu isteri dan anaknya di Panarek.

Demikian kasus “dihilangkan” Haji Sulong, anaknya Ahmad To’mina dan dua orang rekannya tidak bisa membongkar ke pengadilan, dengan tanpa ada saksi dan tanpanya ada kerjasama pihak kepolisian antar keluarga Tok Guru, lebih lagi kasus “dihilangkan” ini menakutkan penduduk masyarakat yang sedia ingin menjadikan saksi berikut. Akhirnya peristiwa “dihilangkan” Haji Sulong oleh aparat kepolisian tidak bisa mengungkit ke mahkamah kepengadilan.

Sementara itu, tekanan internasional terhadap kerajaan Thai bertambah besar atas kehilangan Haji Suloang, anaknya Ahmad To’mina dan dua orang rekannya, sehingga peristiwa Haji Sulong enyebab masalah Patani mendapat perhatian Liga Arab dan PBB (Surin Pitsuwan, Op.Cit.,125).

Ahkirnya riwayat Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas, dan Ahmad To,mina (Anak Haji Sulong) semua mereka di bunuh dan jasad mereka juga tanpa perkubaran atau makom, hanya nama Tok Guru dan tempat pembuagan jasad mereka menjadi catatan sejarah hingga sekarang. Dengan terkenal nama tepat arwah Haji Sulong itu di pulau Tikus dan pulau Kucing (Samila Beach) almarhum pada malam Sabtu 13 Agus 1954.

** Mengenai Pibul Songkram bisa lihat:
  http://www.facebook.com/notes/patani-fakta-dan-opini/pibul-songkram-dalam-penidasan-melayu-patani/158861134137275

Insyaallah, Akan Ada Sambungan Yang Terakhir.. ( Tokoh HAM Somchai Neelaphaijit 'Abu Bakar')..
· · Share

Belasungkawa: Prof. Dato’ Dr. Nik Anuar Nik Mahmud Sejarawan Patani dan Sejarawan Bangsa Melayu


by Patani Fakta Dan Opini on Friday, 03 December 2010 at 00:06
 
 

Pada hari Khamis, 28 Oktober 2010 kita telah kehilangan seorang lagi tokoh yang telah banyak berjasa kepada negara iaitu tokoh sejarah terkenal tanah air, Prof. Dato’ Dr. Nik Anuar Nik Mahmud, UKM. Pemergian Allahyarham merupakan satu kehilangan besar kepada negara, khususnya ketika sistem pendidikan negara sedang dalam proses menjadikan mata pelajaran Sejarah sebagai mata pelajaran wajib lulus dalam sistem peperiksaan di sekolah. Mengikut Dr. Roosfa Hashim, rakan setugasnya di UKM “Allahyarham Prof. Dato’ Dr. Nik Anuar merupakan sejarawan yang secara serius berusaha menulis kembali sejarah Patani dan Sejarah bangsa Melayu daripada perspektif anak tempatan. Proses pemperibumian ilmu yang jelas dapat kita kesan pada karya-karya beliau.”

Sebagai seorang tokoh sejarah, Allahyarham telah banyak menulis buku-buku Sejarah khususnya berhubung dengan sejarah bagi rantau Asia Tenggara. Di antara hasil penulisan Allahyarham ialah Tunku Abdul Rahman and his role in the Baling Talks: A documentary history (1998), Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1984 (Penerbit UKM 1999), The Malays of Patani: The search for security and independence (MPH 2008), Tok Janggut: Pejuang atau penderhaka? (Jabatan Sejarah UKM), Konfrontasi Malaysia-Indonesia (Penerbit UKM 2000), Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan: Isu sempadan dan kedaulatan (Penerbit UKM 2003), Tuntutan Malaysia ke atas Borneo Utara (Penerbit UKM 2001), Duri Dalam Daging: Singapura dalam Malaysia (Persatuan Sejarah Malaysia 2001) dan artikel-artikel lain yang dimuatkan dalam pelbagai media maklumat.

Kali terakhir seluruh warga IPG Kampus Tengku Ampuan Afzan dapat mendengar syarahan Allahyarham ialah pada 16 September 2009 semasa beliau diundang ke forum sempena Majlis Penutup Bulan Kemerdekaan 2009 bersama-sama Prof. Emeritus Tan Sri Dr. Khoo Kay Kim dan Prof. Dato’ Dr. Hajah Ramlah Adam. Allahyarham yang sentiasa konsisten dengan pandangan dan pendapat tentang sejarah itu telah menegaskan bahawa penjelasan tentang sejarah sebenar negara perlu dilakukan dengan jujur dan telus tanpa kepentingan-kepentingan lain. Aspek ini penting untuk menghapuskan rasa syak wasangka yang boleh timbul akibat daripada ‘kabur sejarah’ dalam kalangan rakyat di negara ini. Selain itu beliau telah mengupas tentang peri pentingnya pembelajaran mata pelajaran Sejarah dikembalikan ke tempat asalnya dengan wajib dipelajari di semua peringkat dalam sistem pendidikan negara ini. Hari ini saranan itu telah hampir terlaksana, dan Allahyarham telah pergi meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Semoga rohnya dicucuri rahmat dan digolongkan dalam kalangan orang-orang yang soleh.  Alfatihah

Bacaan dalam bahasa Inggeris:
http://pkukmweb.ukm.my/news/index.php/en/extras/508-prof-dato-nik-anuar-ukms-history-lecturer-and-national-historic-figure-passed-away.html

Bacaan dalam bahasa Siam:
http://arabic.amannews.org/view/view.php?id=801
· · Share

Sulaiman Naesa Meninggal Dunia Ketika Diinterogasi Oleh Tentera










Terakhir kali orang tua Sulaiman Naesa menyaksikan anak mereka masih hidup adalah ketika para tentara Thailand membawanya pergi untuk diinterogasi karena dicurigai terlibat dalam para pejuangan Islam di Selatan.

"Setelah satu minggu di tahanan ia dikembalikan dalam keadaan meninggal," kata ibunya, Maetsoh Naesa.

Para perwira militer Thailand mengatakan kepada mereka bahwa pekerja konstruksi 25 tahun tersebut gantung diri di kamarnya pada 30 Mei 2010 di pangkalan militer di mana dia ditahan di Patani. Namun keluarganya percaya bahwa dia disiksa, mungkin sampai mati.

Foto-foto yang dirilis oleh Asosiasi Pemuda Muslim Thailand berdasarkan yang nampak dari tubuh Sulaiman memperlihatkan tanda-tanda dari penganiayaan: luka punggung dan leher, darah menetes dari alat kelaminnya, dan tanda hitam di tubuhnya.

Apa bisa buat, pemerintah telah memberlakukan keadaan darurat di daerah itu selama hampir lima tahun, yang memungkinkan tentara untuk menahan tersangka untuk diinterogasi tanpa penuntutan.

"Kami tidak berdaya untuk melawan pemerintah," kata ibu Sulaiman di rumahnya di pedesaan Kadunong di distrik Sai Buri Patani. "Ya, tentu saja kita perlu keadilan - anak kami meninggal karena disiksa tentara."
Sebelumnya tentara memberitahu orang tua Sulaiman bahwa dia terlibat dalam lebih dari selusin serangan bom atau pistol.

Tapi keduanya mengatakan sulit untuk percaya bahwa anak mereka adalah seorang pemberontak, dan menyebutnya sebagai "hanya pria normal" yang tidak sering meninggalkan rumah kecuali untuk bekerja, mengunjungi teman atau pergi memancing.

Kelompok hak asasi manusia menyerukan penutupan pusat interogasi tersebut, dengan alasan bahwa tentara tidak memiliki pelatihan yang diperlukan dan pengalaman dalam penegakan hukum sipil.

Mereka mengatakan pelanggaran pihak tentera dalam konflik itu telah membuat kekerasan yang terjadi bagai lingkaran setan, dengan banyak keluhan atas dugaan penyiksaan, termasuk pemukulan, sengatan listrik dan cekikan terhadap para tersangka tanpa bukti dalam tahanan militer.

    Penyiksaan Terhadap Tahanan Muslim Oleh Militer Musyrik Thailand Tak Terungkap Publik


    by Patani Fakta Dan Opini on Sunday, 05 December 2010 at 00:41
     
     
    Oleh Hanin Mazaya, Kamis 02 Desember 2010
    (Sumber dari: http://arrahmah.com/index.php/news/read/10134/penyiksaan-terhadap-tahanan-muslim-oleh-militer-musyrik-thailand-tak-terung)

    Dunia masih diramaikan oleh pemberitaan mengenai bocornya dokumen-dokumen rahasia yang memperlihatkan keburukan AS yang dirilis oleh situs Wikileaks milik Julian Assange.  Dalam dokumen tersebut terungkap bagaimana AS menyiksa tahanan Irak serta pembunuhan terhadap sipil Irak.  Publik internasional seperti terlupa dengan adanya penyiksaan lain di dunia ini.

    Yaitu Thailand, penyiksaan terjadi di sana, bukan karena AS bercokol di Thailand dan memerangi "Pejuang Pembebasan" di sana.  Sejak tahun 2004, lebih dari 4.400 orang telah tewas di Thailand selatan dalam conflict berdarah antara pasukan musyrik Thailand dan "Pejuang Pembebasan" Melayu Muslim.  Majority penduduk Thailand merupakan penganut Budha, namun di provinces selatan seperti Pattani, Yala dan Narathiwat sebagian besar penduduknya beragama Islam dan berbahasa Melayu yang berada di bawah pemerintahan Bangkok selama satu abad.

    Cheakwae Naesa, 58, holds a picture of his son Sulaiman, who died at age 25 in military custody. Sulaiman's mother Maetsoh is in the background at their home in Pattani, Thailand, on June 30, 2010, Madaree Tohlala / AFP / Getty Images
    Saya, baru-baru ini mengunjungi wilayah bersama direktur Orlando de Guzman, untuk bersama-sama mendokumentasikan kematian seorang tersangka "pejuang" yang berusia 25 tahun bernama Sulaiman Naesa. Ia ditahan pada bulan Mei di kamp militer di Pattani, Ingkhayutthabariharn.  Pasukan musyrik Thailand meng-claim Sulaiman mengakui perannya dalam pembunuhan sembilan orang, kemudian mengikat handuk ke jeruji selnya dan menggantung diri.

    Orang tua Sulaiman mengatakan anaknya merupakan seorang penduduk desa yang setengah buta huruf, bukan militan dan bahwa darah dan memar yang terlihat di tubuh jenazahnya membuktikan ia disiksa sampai mati, bukan gantung diri.

    Apa yang sebenarnya terjadi?  Kita mungkin tidak akan pernah tau.  Orangtuanya melihat tidak ada gunanya autopsy.  "Bagaimana mungkin kami melawan pemerintah?" ujar ibu Maetsoh.  Tapi kasus Sulaiman harus menjadi focus perhatian internasional tentang pelanggaran hak asasi manusia di Thailand selatan, khususnya pada tubuh yang terus semakin membuktikan bahwa militer secara rutin melakukan penyiksaan terhadap tahanan Muslim.  Hal ini juga menjadi pertanyaan, mengapa AS terlihat tenang dalam hal ini?

    Militer Thailand sangat antusian untuk memperlihatkan kepada kru kami wajah kemanusiaan Letjen Pichet Visaijorm, seorang mantan komandan regional, yang memberi kami tur pribadi dari proyek peliharaannya.  Hal ini termasuk operasi gigi secara gratis bagi masyarakat lokal di markasnya di provinsi Yala.

    Kami melihat seorang dokter gigi tentara yang tengah memasang satu set gigi palsu terhadap seorang Muslim tua.  Orang itu berseringai, "apakah mereka cantik?" mendesak Jenderal Pichet untuk tersenyum balik dan mengatakan "Kamu menyukainya?"  Lalu senyumnya memudar.  Perhatian kami berikutnya adalah Ingkhayutthabariharn, rumah untuk tahanan militer dan facility interrogation.  Ini disebut juga Pusat Promosi Reconciliation.  Bagi ummat Islam, Ingkhayutthabariharn adalah kata yang mengerikan.  Mereka tahu apapun dapat terjadi di sana.

    Sulaiman ditemukan tewas di sebuah blok yang disebut oleh tentara sebagai "resort".  "setiap orang takut berada di sana," ujar seorang mantan tahanan kepada kami.  Mantan napi mengatakan ia sempat berbicara kepada Sulaiman, yang mengatakan bahwa tentara telah menendangnya dengan begitu keras di perutnya dan ia tidak diberi makan selama empat hari.  Ia mengatakan ia melihat tahanan dipukuli dan kantong plastik menutupi kepalanya hingga membuat tahanan tersebut mati lemas.  Sangat banyak complain mengenai penyiksaan terhadap tahanan militer di Thailand selatan dan semakin banyak setiap tahunnya, sangat menakjubkan bahwa dunia tidak sedikitpun memiliki perhatian lebih akan hal ini.

    Pelanggaran yang dilaporkan oleh para tahanan termasuk pemukulan berat, sengatan listrik, dipaksa telanjang, suhu ruangan extreme yang sangat panas atau dingin, dimasukkan jarum ke dalam luka yang menganga, dan menahan keluarga para tahanan sebagai sandera termasuk sebuah kasus penyanderaan terhadap anak berusia 6 tahun.

    "Kami tidak pernah melakukan penyiksaan," ujar Letjen Udomchai Thamsarorat, komandan regional saat ini.  "Kami disini untuk menolong orang-orang, bukan menyakiti mereka," claim-nya.  Selimut penolakan ini tidak mengesankan para pengamat ahli.  "Tentara keamanan terus menggunakan penyiksaan meskipun komandan senior meng-claim telah melarangnya," ujar International Crisis Group yang berbasis di London pada November lalu.  Dalam dua bulan menjelang kematian Sulaiman, Amnesti Internasional menerima delapan laporan penyiksaan dan enam diantaranya terjadi di Ingkhayutthabariharn.

    Penolakan tersebut juga tidak mampu menipu penduduk setempat.  Di Pattani, aku menemui seorang guru bahasa Melayu yang sedang memberikan latihan kepada muridnya dan meminta muridnya (yang semuanya Muslim) untuk menulis sebuah laporan bergaya surat kabar.  Belasan dari mereka memilih kisah mengenai kerabat atau teman mereka yang pernah ditahan atau disiksa.  Ketika saya bertanya kepada seorang Muslim tentang pelanggaran ini dan mengapa mereka tidak berbicara lantang mengenai hal tersebut, ia menjawab : "Kami benci tentara tapi kami juga takut kepada mereka.  Ketakutan kami lebih besar dari kebencian kami."  Pandangan seperti itu nampaknya telah diketahui oleh petugas yang berbicara kepada saya.  Letjen Udomchai mengatakan ia "100 persen" yakin bahwa tentaranya telah memenangkan hati dan pikiran kaum Muslim.

    Penyiksaan adalah illegal dan menjijikkan.  Setelah peristiwa 911, CIA menyiapkan jaringan global penjara rahasia dimana tersangka "terorisme" menjadi sasaran waterboarding dan bentuk-bentuk penyiksaan lainnya.  Sistem pertama, dua tahanan secara brutal diinterogasi di sebuah penjara di Thailand pada 2002.  Di bulan november Departemen Kehakiman AS memutuskan bahwa para pejabat CIA tidak akan menghadapi tuduhan kriminal untuk menghancurkan rekaman video yang menunjukkan penyiksaan.

    CIA tidak pernah mengungkapkan lokasi tepat dari penjara rahasia yang laporannya ditutup pada 2003.  Thailand membantah semua pengetahuan itu.  Namun banyak dari "teknik interogasi yang telah disempurnakan", apa yang disebut halus di facility-facility ini menciptakan stress yang berkepanjangan, kurang tidur, penggunaan anjing.  Ini bukan bukti bahwa Amerika sedang mengajar Thailand cara penyiksaan, tetapi ini bukan suatu kebetulan.  Tentara Thailand tampaknya tengah meng-adoption praktek buruk yang hanya diketahui militer dan mengaguminya sendiri.

    Pada Januari mendatang, Pejuang Pembebasan di Thailand selatan akan memasuki tahun keenam (2004-2010).  Perdamaian tidak akan berdiri sampai Jenderal Thailand melihat penyiksaan sebagai cancer dalam barisan mereka.  Ingin memenangkan hati dan pikiran ummat Melayu Muslim?  Apa yang diinginkan penduduk setempat adalah keadilan, bukan gigi palsu gratis.

    Sumber ini berasal dari: http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2033902,00.html

     Utk melihat gambar atas penyeksaan ini bisa lihat di:  http://www.facebook.com/note.php?saved&&note_id=171720076184714#!/album.php?aid=27269&id=100001008597745
     
    (Telah di Edit Oleh: Patani Fakta dan Opini)
    · · Share